Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim atau Makdum
Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkan, Asia Tengah, pada awal
abad 14. maulana Malik Ibrahim juga kadang juga disebut Syekh Maghribi dan
Kakek Bantal. Ia adalah anak dari Maulana Jumadil Kubro. Maulana Malim Inrahim
pernah bermukim di Campa, selama 13 tahun, dan ia menikahi putrid raja yang
memberinya 2 putra. Mereka adalah Sunan Ampel dan Raden Santri. Pada tahun 1392
M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Daerah tujuan utamanya adalah
Desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam kekuasaan Majapahit. Aktivitas
pertamanya adalah berdagang dengan cara membuka warung. Selain itu, ia juga
membuka pengobatan untuk masyarakat secara gratis. Dan ia juga pernah diundang
untuk mengobati istri raja. Ia juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam.
Misi utamanya adalah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu
tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun pondokan
tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat, dan
makamnya berada di kampong Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
Ia putra tertua Maulana Malik
Ibrahim, lahir di Campa pada 1401 Masehi. Sunan Ampel masuk Jawa pada tahun
1443M bersama Raden Santri. Sunan Ampel menikah dengan putrid seorang adipati
di Tuban, dan di karuniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan
Kesultanan Demak, Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah Untuk menjadi
Sultan Demak pada tahun 1475M.
Di Ampel Denta ia membangun
pondok pesantren. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menladi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara dan mancanegara. Sunan
Ampel menganut Fiqih mahzab Hanafi. Dialah yang mengenalkan istilah “Mo Limo”
(moh main, moh ngombe, moh madon, moh maling, moh madat). Yakni seruan untuk
tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak berzina, tidak mencuri dan
tidak memakai narkoba. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel Surabaya.
Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden
Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri Lahir di Balmbangan (Banyuwangi)
pada 1442M. Semasa kecilnya ia pernah di buang oleh keluarga ibunya yaitu Dewi
Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut oleh Nyai Semboja. Sunan Giri
kecil menuntut ilmu di pesantren Sunan Ampel, Ia sempat berkelana ke Malaka
& Pasai.Setelah itu ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa
Sidomukti, selatan Gresik.
Pesantren itu berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut juga
Giri Kedaton.
Giri Kedaton bertahan hingga 200
tahun. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau. Sunan Giri dikenal karena pengetahuan keagamaannya
yang luas dalam ilmu fiqih. Ia juga pencipta karya seni yang luar biasa.
Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, nama
kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir pada tahun 1465M dari seorang
perempuan bernama Nyi Ageng Manila. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, sangat
toleran pada budaya setempat. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus
adalah dengan memanfaatkan symbol-simbol Hindu-Budha. Hal itu terliaht dari
arsitektur masjid Kudus.
Suatu waktu, ia memancing
masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tablighnya. Ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan Sapi menjadi simpati. Sunan Kudus juga
pernah ikut bertempur saat Demak di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga
Ia lahir sekitar tahun 1450M.
Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban yang menganut agama Islam. Nama
kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Sunan Kalijaga pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Ia ikut merancang pembangunan Masjid
Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam Dakwah, ia punya pola yang
sama dengan Sunan Bonang. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana
dakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat
akan menjauh jika di serang pendiriannya. Ia menggunakan seni ukir, wayang,
gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Lanskap pusat kota
berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga dimakamkan
di Kadilangu-selatan Demak.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448M. ibunya adalah Nyai Rara
Santang dan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia mendirikan Kesultanan Cirebon atau Kesultanan Pakungwati. Dalam berdakwah,
ia mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulanan Hassanudin, Sunan
Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung
Jati menyerahkan kekuasaanya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120tahun, di Cirebon. Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15km sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Sunan Drajat
Nama kecilnya adalah Raden Qosim,
Ia adalah anak dari Sunan Ampel dan lahir pada tahun 1470M. sunan Drajat
mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut dan setahun kemudian Sunan Drajat berpindah 1km ke selatan dan
mendirikan padepokan santri Dalem Duwur. Sunan Drajat secara langsung dan tidak
banyak mendekati budaya local, tapi ia tetap menggunakan seni yaitu seni
suluk.Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong.
Di pondok pesantrennya ia banyak memelihara anak-anak yatim piatu dan fakir
miskin.
Sunan Kudus
Nama kecilnya Jafar Sadiq. Ia
putra Sunan Ngudung dan Syarifah. Sunan Ngudung adalah salah seorang putra
Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Sunan Kudus banyak berguru pada
Sunan Kalijaga. Cara berdakwahnya sangat toleran pada budaya setempat. Caranya
adalah denagn memanfaatkan symbol Hindu-Budha.
Sunan Kudus juga mengubah
cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga
masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya sebuah pendekatan yang
tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan
demikianlah Sunan Kudus mengikat Masyarakatnya.
Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh dengan Sunan
Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Gayanya berdakwah banyak
mengambil cara ayahnya. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata sekaligus mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut.
Ia dikenal sebagai pribadi yang
mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusinya pun
selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Miuria berdakwah
di Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil
dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinim dan Kinanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar